MAKALAH
PSIKOLOGI BELAJAR
“Teori-teori dalam Belajar”
Dosen
Pengampu : Muslimah S.Pd.I M.Pd.I
\
Disusun
Oleh Kelompok IV
1.
M Zacky Devitson
15.11.1957
2.
Lukluk Hidayah 15.11.1953
3.
Edo Gustanto
Putra 15.11.1925
Semester / Jurusan : IV
PAI A
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM (STAI)
AN-NADWAH KUALA TUNGKAL
TAHUN
AKADEMIK
2017
KATA
PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Segala puji bagi Allah yang telah menganugerahi nikmat
terbesar pada kita, yaitu nikmat iman dan islam. Shalawat serta salam kita
curahkan untuk Nabi kita Muhammad SAW yang telah menebarkan dan mendakwahkan islam
ini kesegenap penjuru dunia, dan dari alam yang gelap gulita sampailah
kepada alam yang terang benerang seperti yang kita rasakan saat ini.
Alhamdulillah
puji syukur kehadirat Allah SWT, yang dengan rahmat dan inayah-Nya. Makalah ini
disusun untuk memenuhi mata kuliah yang telah diberikan oleh dosen pembimbing dan dapat diselesaikan tepat waktunya walaupun
cukup sederhana. Penulis juga mengucapkan
terima kasih kepada Ibu selaku
dosen pembimbing mata kuliah dan
penulis juga
berterima kasih pada teman-teman yang telah memberi pengarahan dan petunjuk
dalam pembuatan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan
makalah ini masih banyak kekurangan, oleh karena itu kritik dan saran dari
dosen pembimbing maupun teman-teman sangat penulis harapkan tegur sapanya untuk perbaikan
makalah ini dan selanjutnya. Kepada Allah SWT, saya memohon taufik dan hidayah-Nya semoga dalam pembuatan
makalah ini senantiasa dalam keridhaannya-Nya. Amin.
Kuala
Tungkal, 17 Mei 2017
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR.........................................................................
i
DAFTAR
ISI.........................................................................................
ii
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang........................................................................
1
B.
Rumusan Masalah .................................................................. 2
C.
Tujuan .................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
A.
Teori Belajar Behavioristik.................................................... 3
B.
Teori Belajar Kognitif........................................................... 8
C.
Teori Belajar Humanistik...................................................... 12
D.
Konsep Belajar Menurut Agama
Islam.................................
18
BAB
III PENUTUP
A.
Kesimpulan.............................................................................
24
B.
Penutup...................................................................................
25
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Belajar bukan
hanya menghafal dan bukan pula mengingat, tetapi belajar adalah suatu proses
yang ditandai dengan adanya perubahan pada diri peserta didik. Perubahan
sebagai hasil proses belajar dapat ditunjukkan dalam berbagai bentuk, seperti
perubahan pengetahuanya, sikap dan tingkah laku ketrampilan, kecakapanya,
kemampuannya, daya reaksinya dan daya penerimaanya.
Jadi, belajar adalah suatu proses yang aktif, proses mereaksi
terhadap semua situasi yang ada pada peserta didik. Belajar merupakan suatu
proses yang diarahkan pada suatu tujuan, proses berbuat melalui situasi yang
ada pada peserta didik.
Belajar
merupakan sebuah proses yang terjadi pada manusia dengan berpikir, merasa, dan
bergerak untuk memahami setiap kenyataan yang diinginkannya untuk menghasilkan
sebuah perilaku, pengetahuan, atau teknologi atau apapun yang berupa karya dan
karsa manusia tersebut. Belajar berarti sebuah pembaharuan menuju pengembangan
diri individu agar kehidupannya bisa lebih baik dari sebelumnya. Belajar pula
bisa berarti adaptasi terhadap lingkungan dan interaksi seorang manusia dengan
lingkungan tersebut. Hal tersebut yang membuat lahirnya teori-teori belajar
behavioristik, kognitif, humanistik, dan konsep belajar menurut agama islam itu
sendiri.
Menurut Arden
N. Frandsen dalam Darsono, mengatakan bahwa hal yang mendorong seseorang itu
untuk belajar antara lain adanya sifat ingin tahu dan ingin menyelidiki dunia
yang lebih luas, adanya sifat kreatif yang ada pada manusia dan keinginan untuk
maju, adanya keinginan untuk mendapatkan simpati dari orang tua, guru, dan
teman-teman, adanya keinginan untuk memperbaiki kegagalan yang lalu dengan
usaha yang baru, baik dengan koperasi maupun dengan kompetensi, adanya
keinginan untuk mendapatkan rasa aman, adanya ganjaran atau hukuman sebagai
akhir dari pada belajar.
Maka dari itu pada makalah kami ini akan membahas tentang teori-teori
dalam belajar yang mana teori belajar dapat kita bagi menjadi 4 yaitu : Teori
Belajar Behavioristik, Kognitif, Humanistik dan Konsep belajar menurut Agama
Islam.
B. Rumusan Masalah
Dari penjelasan di atas
dapat kami tarik suatu rumusaan masalah sebagai berikut :
1. Apa pengertian Teori
Belajar Behavioristik?
2. Apa pengertian Teori
Belajar Kognitif?
3. Apa pengertian Teori
Belajar Humanistik?
4. Bagaimana konsep
belajar menurut Agama Islam?
C. Tujuan Penulisan
Untuk mengetahui lebih lanjut tentang
:
1. Apa pengertian Teori
Belajar Behavioristik
2. Apa pengertian Teori
Belajar Kognitif
3. Apa pengertian Teori
Belajar Humanistik
4. Bagaimana konsep
belajar menurut Agama Islam
BAB II
PEMBAHASAN
A. Teori Belajar Psikologi Behavioristik
1. Pengertian Beori Belajar Behavioristik
Teori
belajar psikologi behavioristik dikemukakan oleh para psikologi behavioristik.
Mereka ini sering disebut “contempotary behaviorists” atau disebut “S-R
psychologists”. Mereka baerpendapat, bahwa tingkah laku manusia itu
dikendalikan oleh ganjaran (reward) atau penguatan (reinforcement)
dari lingkungan. Dengan demikian dalam tingkah laku belajar terjalan jalinan
yang erat antara reaksi-reaksi behavioral dengan stimulasinya.
Guru-guru
yang menganut pandangan ini berpendapat, bahwa tingkah laku murid-murid
merupakan reaksi-reaksi terhadap lingkungan meraka pada masa lalu dan masa
sekarang, dan bahwa segenap tingkah laku merupakan hasil belajar. Kita dapat menganalisis
kejadian tingkah laku dengan jalan mempelajari latar belakang penguatan (reinforcement)
terhadap tingkah laku tersebut.[1]
Menurut teori behavioristik, belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai
akibat dari adanya interaksi antara stimulus dan respon. Dengan kata lain
belajar merupakan bentuk perubahan yang dialami siswa dalam hal kemampuannya
untuk bertingkah laku dengan cara yang baru sebagai hasil interaksi antara
stimulus dan respon. Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika ia dapat menunjukkan
perubahan tingkah lakunya. Misalnya, siswa belum dapat dikatakan berhasil dalam belajar Ilmu Pengetahuan Sosial
jika dia belum bisa/tidak mau melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan sosial
seperti kerja bakti, ronda dll.[2]
Dari
penjelasan di atas dapat kami simpulkan bahwa teori belajar behavioristik perubahan tingkah laku sebagai akibat dari adanya interaksi antara stimulus
dan respon. Dengan kata lain belajar merupakan bentuk perubahan yang dialami
siswa dalam hal kemampuannya untuk bertingkah laku dengan cara yang baru
sebagai hasil interaksi antara stimulus dan respon.
2. Tokoh-Tokoh Teori Belajar Behavioristik.
Psikologi aliran behavioristik mulai berkembang
sejak lahirnya teori-teori tentang belajar yang dipelopori oleh Thorndike,
Pavlov, Watson dan Guthrie. Mereka masing-masing telah mengadakan penelitian
yang menghasilkan penemuan-penemuan yang berharga mengenai hal belajar.
Pada
mulanya, pendidikan dan pengajaran di Amerika Serikat didominasi oleh pengaruh
dari Thorndike (1874 sampai 1949). Teori belajar Thorndike disebut “connectionism”
karena belajar merupakan proses pembentukan koneksi-koneksi antara stimulus dan
respon. Teori ini sering pula disebut “trial-and-error learning”,
individu yang belajar melakukan kegiatan melalui proses “trial-and-error”
dalam rangka memlilih respon yang tepat bagi stimulus tertentu. Thorndike
mendasarkan teorinya atas hasil-hasil penelitiannya terhadap tingakah
lakuberbagai binatang antara lain kucing, tingkahn laku anak-anak dan orang
dewasa.
Objek
penelitian diharapkan kepada situasi baru yang belum dikenal dan membiarkan
objek melakukan beerbagai pola aktivitas untuk merespon stimulus itu. Dalam hal
objek mencoba berbagai cara bereaksi sehingga menemukan keberhasilan dalam membuat
koneksi sesuatu reaksi dengan stimulasinya.
Sementara
Thorndike mengadakan penelitiannya, di Rusia Ivan Pavlov (1849-1936) juga
menghasilkan teori belajar yang disebut “classical conditioning” atau “stimulus
substitution”. Teori Pavlov berkembang dari percobaan laboratories terhadap
anjing. Dalam percobaan ini, ajang diberi stimulus bersyarat sehingga terjadi
reaksi bersyarat pada anjing.
John
B. Watson adalah (1878 – 1958) adalah orang pertama di Amerika Serikat yang
mengembangkan teori belajar berdasarkan hasil penelitian Pavlov. Watson
berpendapat, “bahwa belajar merupakan proses terjadinya refleks-refleks atau
respon-respon bersyarat melalui stimulus pengganti”. Menurut Watson, manusia
dilahirkan dengan beberapa refleks dan reaksi-reaksi emosional berupa takut,
cinta dan marah. Semua tingkah laku lainnya terbentuk oleh hubungan-hubungan
stimulus respon baru melalui conditioning.
E.R
Guhtrie (1886 – 1959) memperluas temuan Watson tentang belajar. Ia mengemukakan
prinsip belajar yang disebut “the law of association”yang berbunyi :
suatu kombinasi stimulus yang telah menyertai suatu gerakan, cenderung akan
menimbulkan gerakan itu, apabila kombinasi stimulus itu muncul kembali. Dengan
kataa lain, jika anda mengerjakan sesuatu dalam stimulus tertentu, maka nanti
dalam situasi yang sama anda akan mengerjakan hal serupa lagi.[3]
Dari penjelasan di atas dapat kami simpulkan bahwa belajar adalah suatu
proses sadar yang dialami oleh siswa dan dengan adanya itu para tokoh-tokoh
mengemukakan hasil dari pemahaman yang menghasilkan teori-teori tentang
belajar. Dari teori di atas lahirlah teori belajar behavioristik.
3.
Penerapan teori behavioristik
dalam pembelajaran.
Penerapan teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran yaitu karena
memandang pengetahuan adalah objektif, pasti, tetap dan tidak berubah
pengetahuan disusun dengan rapi sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan,
sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan (transfer of knowladge)
kepada orang yang belajar. Fungsi pikiran adalah untuk menjiplak struktur
pengetahuan yang sudah ada melalui proses berfikir yang dapat dianalisis dan
dipilih, sehingga makna yang dihasilkan dari proses berfikir seperti ini
ditentukan oleh karakteristik struktur pengetahuan tersebut. Belajar merupakan
akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon. Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika
dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori ini dalam belajar
yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa respon.[4]
Aliran psikologi belajar yang sangat besar
pengaruhnya terhadap arah pengembangan teori dan praktik pendidikan dan
pembelajaran hingga kini adalah aliran behavioristik. Aliran ini menekankan
pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. Teori
behavioristik dengan model hubungan stimulus responnya, mendudukkan orang yang
belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan
menggunakan metode drill atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan
semakin kuat bila diberikan reinforcement dan akan menghilang bila dikenai
hukuman.
Secara umum langkah-langkah pembelajaran yang
berpijak pada teori behavioristik yang dikemukakan oleh Sociati dan Prasetya
Irawan (2001) dapat digunakan dalam merancang pembelajaran, langkah-langkah
pembelajara tersebut antara lain :
a.
Menentukan tujuan-tujuan pembelajaran
b.
Menganalisis lingkungan kelas yang ada saat ini
termasuk mengidentifikasi pengetahuan awal siswa
c.
Menentukan materi pembelajaran
d.
Memecah materi pembelajaran menjadi bagian
kecil-kecil, meliputi pokok bahasan, sub pokok bahasan, topik dsb
e.
Menyajikan materi pembelajaran
f.
Memberikan stimulus, dapat berupa, pertanyaan
baik lisan maupu tertulis, tes atau kuis, latihan atau tugas-tugas
g.
Mengamati dan mengkaji respon yang diberikan
siswa
h.
Memberikan penguatan atau reinforcement (mungkin
penguatan positif ataupun penguatan negatif), ataupun hukuman
i.
Memberikan stimulus baru
j.
Memberikan penguatan lanjutan atau hukuman
Demikian halnya dapat kami simpulkan bahwa dalam pembelajaran, pembelajar
dianggap sebagai objek pasif yang selalu membutuhkan motivasi dan penguatan
dari pendidik. Oleh karena itu, para pendidik mengembangkan kurikulum yang
terstruktur dengan menggunakan standar-standar tertentu dalam proses
pembelajaran yang harus dicapai oleh para pebelajar. Begitu juga dalam proses
evaluasi belajar pebelajar diukur hanya pada hal-hal yang nyata dan dapat
diamati sehingga hal-hal yang bersifat tidak teramati kurang dijangkau dalam
proses evaluasi.
4. Tujuan Teori Belajar Behavioristik
Tujuan
pembelajaran menurut teori behavioristik ditekankan pada penambahan
pengetahuan, sedangkan belajar sebagai aktivitas mimetic, yang menuntut
pembelajar untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari dalam
bentuk laporan, kuis, atau tes. Penyajian isi atau materi pelajaran menekankan
pada ketrampilan yang terisolasi atau akumulasi fakta mengikuti urutan dari
bagian ke keseluruhan.
a.
Berkomunikasi atau transfer prilaku adalah
pengambaran pengetahuan dan kecakapan peserta didik (tidak mempertimbangkan
proses mental
b.
Pengajaran adalah untuk memperoleh keinginan
respon dari peserta didik yang dimunculkan dari stimulus
c. Peserta didik
harus mengenali bagaimana mendapatkan respon sebaik mungkin pada kondisi respon
diciptakan.[6]
Dari penjelasan
di atas dapat kita ketahui bahwa tujuan teori belajar behavioristik adalah
untuk berkomukasi dalam menyampaikan pelajaran dan pengetahuan. Pengajaran itu
dapat memperoleh keinginan respon dari siswa yang memunculkan stimulus. Dengan
begitu peserta didik harus dapat mengetahui cara memperoleh respon sebaik
mungkin pada kondisi respon diciptakan.
B. Pengertian Belajar Menurut Teori Belajar Kognitif
1.
Pengertian Teori Belajar Kognitif
Teori belajar
kognitif berbeda dengan teori belajar behavioristik, teori belajar kognitif
leih mementingkan proses belajar dari pada hasil belajarnya. Para penganut
aliran kognitif mengatakan bahwa belajar tidak sekedar melibatkan hubungan
antara stimulus dan respon. Tidak seperti model belajar behavioristik yang
mempelajari prses belajar hanya sebagai hubungan stimulus-respon, model belajar
kognitif merupakan suatu bentuk teori belajar yang sering disebut sebagai model
perceptual. Model belajar kognitif mengatakan bahwa tingkah laku sesorang
ditentukan oleh persepsi serta pemahamannya tentang situasi yang berhubungan
dengan tujuan belajarnya. Perubahan
Belajar merupakan persepsi dan pemahaman yang tidak selalu dapat terlihat
sebaigai tingkah laku yang nampak.
Teori kognitif
juga menekankan bahwa bagian-bagian bahawa dari sistuasi salaing berhubungan
dengan seluruh kontek situasi tersebut. Memisah-misahkan atau membagi-bagi
situasi /materi pelajaran menjadi komponen-komponen yang kecil-kecil dan
mempelajarinya secara terpisah-pisah, akan kehilangan makna. Teori ini
berpandangan bahwa belajar merupakan suatu proses internal yang mencakup ingatan, retensi, pengolahan infirnasi,
emosi, dan aspek-aspek kejiwaan lainnya. Belajar merupakan aktifitas yang
melibatkan proses berfikir yang ssangat komplek. Prose belajar terjadi antara
lain mencakup pengaturan stimulus yang diitrerima dan menyesuaikannya dengan
struktur kognitif yang sudah dimiliki dan sudah terbentuk dalam diri sesorang
berdasarkan pemahman dan pengalaman-pengalaman sebelumnnya. Dalam praktek
pembelajaran, teori kognitif antara lain tampak dalam rumusan-rumusan seperti:
“tahap-tahap perkembangan” yang dikemukakan oleh j.piaget, advance organizer
oleh ausubel, pemahaman konsep oleh bruner, hirarki belajar oleh gagne,
webteacing oleh norman dan sebagainya.[7]
2.
Tokoh-Tokoh dan
Pemikirannya terhadap Teori Belajar Kognitif
Psikologi kognitif mulai
berkembang dengan lahirnya teori belajar “Gestalt”. Peletak dasar
psikologi Gestalt adalah Mex Wertheimer (1880 – 1943) yang meneliti tentang
pengamatan dan problem solving. Sumbangannya ini diikuti oleh Kurt Koffak (1886
-1941), yang menguraikan secara terperinci tentang hokum-hukum pengamatan,
kemudian Wolfgang Kohler (1887 – 1959) yang meneliti tentang “insight”
pada sinpanse. Penelitian-penelitian mereka menumbuhkan psikologi gestalt yang
menekan bahasa pada masalah konfigurasi, sruktur dan penataan dalam pengalaman kaum
gestaltis berpendapat, bahwa pengalaman itu berstruktur yang terbentuk dalam
suatu keseluruhan. Orang yang belajar, mengamati stimulus dalam keseluruhan
yang terorganisasi, bukan dalam bagian-bagian terpisah.
Suatu konsep yang penting
dalam psikologi gestalt adalah tentang insight, yaitu pengamatan/pemahaman
mendadak terhadap hubungan-hubungan antar bagian-bagian di dalam suatu situasi
permasalahan. Insight itu sering dihubungkan dengan pernyataan spontan “aha”
atau “oh, I see now”.
Kohler (1927 ) menemukan
tumbuhnya insight pada seekor sinpanse dengan menghadapkan sinpanse pada
masalah bagaimana memperoleh pisang yang terletak di luar kurungan atau
tergantung atau tergantung di atas kurungan. Dalam eksperimen itu Kohler
mengamati, bahwa kadang kala sinpanse dapat memecahkan masalah secara mendadak,
kadang kala gagal meraih pisang, kadang kala duduk merenungkan masalah, dan
kemudian secara tiba-tiba menemukan pemecahan masalah.
Wetheimer (1945) menjadi
orang gestaltis yang mula-mula menghubungkan pekerjeaannya dengan proses
belajar di kelas. Dari pengamatannya itu, iya menyesalkan penggunaan metode
menghapal di sekolah dan menghendaki agar murid belajar dengan pengertian,
bukan hapalan akademis.
Menurut pandangan
Gestaltis, dapat kami simpulkan bahwa semua kegiatan belajar (baik pada sipanse
maupun pada manusia) menggunakan insight atau pemahaman terhadap
hubungan-hubungan menurut psikologi Gestalt, tingkat kejelasan atau keberartian
dari apa yang diamati dalam situasi belajar adalah lebih meningkatkan belajar
seseorang daripada dengan hukuman dan ganjaran.[8]
3.
Aplikasi Teori Kognitif dalam Kegiatan Pembelajaran
Hakekat belajar menurut teori kognitif
dijelaskan sebagai suatu aktivitas belajar yang berkaitan dengan penataan
informasi, reorganisasi perceptual, dan proses internal. Kegiatan pembelajaran
yang berpihak pada teori belajar kognitif ini sudah banyak digunakan. Dalam
menemukan tujuan pembelajaran, mengembangkan strategi dan tujuan pembelajaran,
tidak lagi mekanistik sebagaimana yang dilakukan dalam pendekatan
behavioristik. Kebebasan dan keterlibatan siswa secara aktif dalam proses
belajar amat diperhitungkan, agar belajar lebih bermakna bagi siswa. Sedangkan
kegiatan pembelajarannya mengikuti prinsip-prinsip sebagai berikut:
a.
Siswa bukan sebagai orang dewasa yang mudah
dalam proses berfikirnya. Mereka mengalami perkembangan kognitif melalui
tahap-tahap tertentu.
b.
Anak usia pra sekolah dan awal sekolah dasar
akan dapat belajar dengan baik terutama jika mendengarkan benda-benda kongrit.
c.
Keterlibatan siswa secara aktif dalam belajar
amat dipentingkan, karena hanya dengan mengaktifkan siswa maka proses asimilasi
dan akomodasi pengetahuan dan pengalaman dapat terjadi dengan baik.
d.
Untuk menarik minat dan meningkatkan retensi
perlu mengkaitkan pengalaman atau informasi baru dengan struktur kognitif yang
telah memiliki si belajar.
e.
Pemahaman dan retensi akan meningkat jika
materi pelajaran disusun dengan menggunakan pola atau logika tertentu, dari
sederhana ke kompleks.
f.
Belajar memahami akan lebih bermakna daripada
belajar mneghafal.
g.
Adanya perbedaan individual pada diri siswa
pelu diperhatikan karena faktor ini sangat mempengaruhi keberhasilan belajar
siswa.[9]
4. Tujuan Teori Balajar Psikologi Kognitif
Dalam perkembangan
setidaknya ada tiga teori belajar yang bertitik tolak dari teori kognitivisme
ini yaitu: Teori perkembangan piaget, teori kognitif Brunner dan Teori bermakna
Ausubel. Ketiga tokoh teori penting ini yang dapat mengembangkan teori belajar kognitif.
Teori Kognitif Piaget Brunner Ausubel, Proses belajar terjadi menurut pola
tahap-tahap perkembangan tertentu sesuai dengan umur siswa. Proses belajar
terjadi melalui tahap-tahap:
a.
Asimilasi (penyesuaian
(peleburan) sifat asli yg dimiliki dng sifat lingkungan sekitar; 2 Ling perubahan bunyi
konsonan akibat pengaruh konsonan yg berdekatan)
b.
Akomodasi (penyesuaian
mata untuk menerima bayangan yg jelas dr objek yg berbeda; 3 Antr penyesuaian manusia dl
kesatuan sosial untuk menghindari dan meredakan interaksi ketegangan dan konflik;
4 Sos
penyesuaian sosial dl interaksi antara pribadi dan kelompok manusia untuk
meredakan pertentangan;)
c.
Equilibrasi
Proses belajar lebih ditentukan oleh karena cara kita mengatur materi
pelajaranan bukan ditentukan oleh umur siswa. Proses belajar terjadi melalui
tahap-tahap:
1)
Enaktif (aktivitas)
2)
Ekonik (visual verbal)
Dari ketiga macam teori
dapat kami simpulkan bahwa penjelasan diatas jelas masing-masing mempunya implikasi
yang berbeda, namun secara umum teori kognitivisme lebih mengarah pada
bagaimana memahami struktur kognitif siswa, dan ini tidaklah mudah, Dengan
memahami struktur kognitif siswa, maka dengan tepat pelajaran bahasa
disesuaikan sejauh mana kemampuan siswanya. Selain itu, juga model penyusunan
materi pelajaran bahasa arab hendaknya disusun berdasarkan pola dan logika
tertentu agar lebih mudah dipahami. Penyusunan materi pelajaran bahasa arab di
buat bertahap mulai dari yang paling sederhana ke kompleks. hendaknya dalam
proses pembelajaran sebisa mungkin tidak hanya terfokus pada hafalan, tetapi
juga memahami apa yang sedang dipelajari, dengan demikian jauh akan lebih baik
dari sekedar menghafal kosakata.
C. Teori Belajar Psikologi Humanisitik
1.
Pengertian Teori Belajar Humanistik
Teori belajar ini berusaha memahami perilaku
belajar dari sudut pandang pelakunya, bukan dari sudut pandang pengamatnya.
Tujuan utama para pendidik adalah membantu peserta didik untuk mengembangkan
dirinya, yaitu membantu masing-masing individu untuk mengenal diri mereka
sendiri sebagai manusia yang unik dan membantu dalam mewujudkan potensi-potensi
yang ada dalam diri mereka.
Dalam teori belajar humanistik proses belajar
harus berhulu dan bermuara pada manusia itu sendiri. Meskipun teori ini sangat
menekankan pentingya isi dari proses belajar, dalam kenyataan teori ini lebih
banyak berbicara tentang pendidikan dan proses belajar dalam bentuknya yang
paling ideal. Dengan kata lain, teori ini lebih tertarik pada ide belajar dalam
bentuknya yang paling ideal dari pada belajar seperti apa adanya, seperti apa
yang bisa kita amati dalam dunia keseharian.. Teori apapun dapat dimanfaatkan
asal tujuan untuk “memanusiakan manusia” (mencapai aktualisasi diri dan
sebagainya) dapat tercapai.
Dalam teori belajar humanistik, belajar
dianggap berhasil jika si pelajar memahami lingkungannya dan dirinya sendiri.
Peserta didik dalam proses belajarnya harus berusaha agar lambat laun ia mampu
mencapai aktualisasi diri dengan sebaik-baiknya. Teori belajar ini berusaha
memahami perilaku belajar dari sudut pandang pelakunya, bukan dari sudut
pandang pengamatnya.
Selanjutnya Gagne dan Briggs mengatakan bahwa
pendekatan humanistik adalah pengembangan nilai-nilai dan sikap pribadi yang
dikehendaki secara sosial dan pemerolehan pengetahuan yang luas tentang
sejarah, sastra, dan pengolahan strategi berpikir produktif Pendekatan sistem
bisa dapat di lakukan sehingga para peserta didik dapat memilih suatu rencana
pelajaran agar mereka dapat mencurahkan waktu mereka bagi bermacam-macam tujuan
belajar atau sejumlah pelajaran yang akan dipelajari atau jenis-jenis pemecahan
masalah dan aktifitas-aktifitas kreatif yang mungkin dilakukan.pembatasan
praktis dalam pemilihan hal-hal itu mungkin di tentukan oleh keterbatasan
bahan-bahan pelajaran dan keadaan tetapi dalam pendekatan sistem itu sendiri
tidak ada yang membatasi keanekaragaman pendidikan ini. [11]
Dari penjelasan diatas dapat kami simpulkan bahwa tujuan utama
para pendidik adalah membantu si peserta didik untuk mengembangkan dirinya,
yaitu membantu masing-masing individu untuk mengenal diri mereka sendiri
sebagai manusia yang unik dan membantu dalam mewujudkan potensi-potensi yang
ada dalam diri mereka. Jadi, teori
belajar humanistik adalah suatu teori dalam pembelajaran yang mengedepankan
bagaimana memanusiakan manusia serta peserta didik mampu mengembangkan potensi
dirinya.
2. Tokoh-Tokoh dan Pemikirannya terhadap Teori Belajar Humanistis
Ada beberapa tokoh yang
menonjol dalam aliran humanistis seperti : Combs, Maslov, dan Rogers.
a. Combs
Combs dan kawan-kawan
menyatakan bahwa apabila kita ingin memahami perilaku orang kita harus mencoba
memahami dunia persepsi orang itu. Apabila kita ingin mengubah keyakinan atau
pandangan orang itu, perilaku dalamlah yang membedakan seseorang dengan yang
lain. Combs dan kawan-kawan selanjutnya mengatakan bahwa perilaku buruk itu
sesungguhnya tak lain hanyalah dari ketidakmauan seseorang untuk melakukan sesuatu
yang tidak akan memberikan keputusan baginya. Apabila seseorang guru mengeluh
bahwa siswanya tidak mempunyai motivasi untuk melakukan sesuatu, ini
sesungguhnya berarti bahwa siswa itu tidak mempunyai motivasi untuk melakukan
sesuatu yang dikehendaki oleh guru itu. Apabila guru itu memberikan akitvitas
yang lain, mungkin sekali siswa akan memberikan reaksi yang positif.
b. Maslov
Pada diri masing-masing
orang mempunyai berbagai perasaan takut untuk berusaha atau berkembang, takut
untuk mengambil kesempatan, takut membayangkan apa yang sudah ia miliki dan
sebagainya. Tetapi mendorong untuk maju kearah keutuhan, keunikan diri, kea rah
berfungsinya semua kemampuan, ke arah kepercayaan diri menghadapi dunia luar
dan pada saat itu juga ia dapat menerima diri sendiri (self).
Maslov berpendapat
kebutuhan-kebutuhan manusia menjadi hierarki. Bila seseorang telah dapat
memenuhi kebutuhan pertama, seperti kebutuhan fisiologis, barulah dapat
menginginkan kebutuhan yang terletak di atasnya, ialah kebutuhan mendapatkan
rasa aman dan seterusnya. Hierarki kebutuhan manusia menurut Maslov ini
mempunayi implikasi yang penting yang harus diperhatikan oleh guru pada waktu
ia mengajar anak-anak. Ia mengatakan bahwa perahatikan dan motivasi belajar
tidak mungkin berkembangkalau kebutuahan dasar si siswa belum terpenuhi.
c. Rogers
Dalam bukunya “Freedo to
Learn”, ia menunjukkan sejumlah psinsip-prinsip belajar humanistik yang penting,
di antaranya ialah :
1) Manusia itu mempunyai kemampuan untuk belajar secara alami.
2) Belajar yang signifikan teerjadi apabila subjek matterdirasakan murid
mempunyai relevansi dengan maksud-maksudnya sendiri.
3) Belajar yang menyangkut suatu perubahan di dalam persepsi mengenai
dirinya sendiri, dianggap pengancam dan cenderung untuk ditolaknya.
4) Tugas-tugas belajar yang mengancam diri adalah lebih mudah dirasakan dan
diasimilasikan apabila ancaman-ancaman dari luar itu semakin kecil.
5) Apa bila ancaman terhadap siswa
itu rendah, pengalaman dapat diperoleh dengan bebagai cara yang berbeda-beda
dan terjadilah proses belajar.
6) Belajar yang bermakna diperoleh siswa dengan melakukannya.
7) Belajar diperlancar bilamana siswa dilibatkan dalam proses belajar dan
ikut bertanggung jawab terhadap proses belajar.
8) Belajar atas inisiatif sendiri yang melibatkan pribadi siswa seutuhnya,
baik perasaan maupun intelek, merupakan cara yang dapat memberikanhasil yang
mendalam dan lestari.
9) Kepercayaaan terhadap diri sendiri, kemerdekaan, kreatifitas lebih mudah
dicapai apabila terutama siswa dibiasakan untuk mawas diri dan mengeritik
dirinya sendiri dan penilaian orang lain merupakan cara kedua yang penting.
10) Belajar yang paling berguna secara social di dalam dunia modern ini
adalah belajar mengenai proses belajar.[12]
Dari penjelasan
di atas dapat kita ketahui prinsip-prinsip belajar yang dapat membantu kita
untuk memahami teori belajar humanistik.
3. Aplikasi Teori Belajar Humanistik
Aplikasi teori
humanistik lebih menunjuk pada ruh atau spirit selama proses pembelajaran yang
mewarnai metode-metode yang diterapkan. Peran guru dalam pembelajaran
humanistik adalah menjadi fasilitator bagi para peserta didik sedangkan guru
memberikan motivasi, kesadaran mengenai makna belajar dalam kehidupan peserta
didik. Guru memfasilitasi pengalaman belajar kepada peserta didik dan
mendampingi peserta didik untuk memperoleh tujuan pembelajaran.[13]
Peserta didik
berperan sebagai pelaku utama (student center) yang memaknai proses
pengalaman belajarnya sendiri. Diharapkan peserta didik memahami potensi diri,
mengembangkan potensi dirinya secara positif dan meminimalkan potensi diri yang
bersifat negatif.
Tujuan
pembelajaran lebih kepada proses belajarnya daripada hasil belajar. Adapun
proses yang umumnya dilalui adalah :
a.
Merumuskan tujuan belajar yang jelas
b.
Mengusahakan partisipasi aktif peserta didik
melalui kontrak belajar yang bersifat jelas , jujur dan positif.
c.
Mendorong peserta didik untuk mengembangkan kesanggupan
peserta didik untuk belajar atas inisiatif sendiri
d.
Mendorong peserta didik untuk peka berpikir
kritis, memaknai proses pembelajaran secara mandiri
e.
Peserta didik di dorong untuk bebas
mengemukakan pendapat, memilih pilihannya sendiri, melakukkan apa yang
diinginkan dan menanggung resiko dari perilaku yang ditunjukkan.
f.
Guru menerima peserta didik apa adanya,
berusaha memahami jalan pikiran peserta didik, tidak menilai secara normatif
tetapi mendorong peserta didik untuk bertanggungjawab atas segala resiko
perbuatan atau proses belajarnya.
g.
Memberikan kesempatan murid untuk maju sesuai
dengan kecepatannya
h.
Evaluasi diberikan secara individual
berdasarkan perolehan prestasi peserta didik.[14]
Dari penjelasan di atas dapat kami simpulkan bahwa pembelajaran
berdasarkan teori humanistik ini tepat untuk diterapkan. Keberhasilan aplikasi
ini adalah peserta didik merasa senang bergairah, berinisiatif dalam belajar
dan terjaadi perubahan pola pikir, perilaku dan sikap atas kemauan sendiri.
Peserta didik diharapkan menjadi manusia yang bebas, berani, tidak terikat oleh
pendapat orang lain dan mengatur pribadinya sendiri secara bertanggungjawab
tanpa mengurangi hak-hak orang lain atau melanggar aturan , norma , disiplin
atau etika yang berlaku.
4. Tujuan Teori Belajar humanistik
Penerapan teori
humanistik lebih menunjuk pada ruh atau spirit selama proses pembelajaran yang
mewarnai metode-metode yang diterapkan. Peran guru dalam pembelajaran
humanistik adalah menjadi fasilitator bagi para peserta didik sedangkan guru memberikan
motivasi, kesadaran mengenai makna belajar dalam kehidupan peserta didik. Guru
memfasilitasi pengalaman belajar kepada peserta didik dan mendampingi peserta
didik untuk memperoleh tujuan pembelajaran.
Peserta didik
berperan sebagai pelaku utama (stundent center) yang memaknai proses
pengalaman belajarnya sendiri. Diharapkan peserta didik memahami potensi diri,
mengembangkan potensi dirinya secara positif dan meminimalkan potensi diri yang
bersifat negatif.
Psikologi
humanistik memberi perhatian atas guru sebagai fasilitator. Berikut ini adalah
berbagai cara untuk memberi kemudahan belajar dan berbagai kualitas
fasilitator, yaitu:
a.
Fasilitator sebaiknya memberi perhatian kepada
penciptaan suasana awal, situasi kelompok, atau pengalaman kelas
b.
Fasilitator membantu untuk memperoleh dan
memperjelas tujuan-tujuan perorangan di dalam kelas dan juga tujuan-tujuan
kelompok yang bersifat umum.
c.
Dia mempercayai adanya keinginan dari
masing-masing peserta didik untuk melaksanakan tujuan-tujuan yang bermakna bagi
dirinya, sebagai kekuatan pendorong, yang tersembunyi di dalam belajar yang
bermakna tadi.
d.
Dia mencoba mengatur dan menyediakan
sumber-sumber untuk belajar yang paling luas dan mudah dimanfaatkan para
peserta didik untuk membantu mencapai tujuan mereka.
e.
Dia menempatkan dirinya sendiri sebagai suatu
sumber yang fleksibel untuk dapat dimanfaatkan oleh kelompok.
f.
Di dalam menanggapi ungkapan-ungkapan di dalam
kelompok kelas, dan menerima baik isi yang bersifat intelektual dan sikap-sikap
perasaan dan mencoba untuk menanggapi dengan cara yang sesuai, baik bagi
individual ataupun bagi kelompok
g.
Bilamana cuaca penerima kelas telah mantap,
fasilitator berangsur-sngsur dapat berperanan sebagai seorang peserta didik
yang turut berpartisipasi, seorang anggota kelompok, dan turut menyatakan
pendangannya sebagai seorang individu, seperti peserta didik yang lain.
h.
Dia mengambil prakarsa untuk ikut serta dalam
kelompok, perasaannya dan juga pikirannya dengan tidak menuntut dan juga tidak
memaksakan, tetapi sebagai suatu andil secara pribadi yang boleh saja digunakan
atau ditolak oleh peserta didik
i.
Dia harus tetap waspada terhadap
ungkapan-ungkapan yang menandakan adanya perasaan yang dalam dan kuat selama
belajar
j.
Di dalam berperan sebagai seorang fasilitator,
pimpinan harus mencoba untuk menganali dan menerima
keterbatasan-keterbatasannya sendiri.[15]\
Dapat
kamimsimpulkan penjelasan di atas berguna untuk mengatasi kelemahan belajar dan
mempermudah belajar guna membantu siswa yang sedang belajar.
D. Konsep Belajar Menurut Islam
1.
Dasar Al-Qur’an
Aktivitas belajar
sangat terkait dengan proses pencarian ilmu. Islam sangat menekankan terhadap
pentingnya ilmu. Al-qur’an dan Al- sunnah mengajak kaum muslimin untuk mencari
dan mendapatkan ilmu dan kearifan (wisdom), serta menempatkan orang-orang yang
berpengetahuan pada derajat yang tinggi.
Di dalam al-Qur’an,
kata al-‘ilm dan kata-kata jadiannya digunakan lebih dari 780 kali.
Seperti yang termaktub dalam wahyu yang pertama turun kepada baginda
Rasulullah SAW yakni Al-‘Alaq ayat 1-5. Ayat ini menjadi bukti bahwa Al-Qur’an
memandang bahwa aktivitas belajar merupakan sesuatu yang sangat penting dalam
kehidupan manusia. Kegiatan belajar dapat berupa menyampaikan,
menelaah,mencari, dan mengkaji, serta meniliti
. الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ . اقْرَأْ وَرَبُّكَ
الْأَكْرَمُ . خَلَقَ الْإِنسَانَ مِنْ عَلَقٍ . أْ بِاسْمِ رَبِّكَ
الَّذِي خَلَقَاقْرَ
. عَلَّمَ الْإِنسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ
“Bacalah dengan
menyebut nama Tuhanmu yang Menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari
segumpal darah. Bacalah. Dan Tuhanmullah yang paling pemurah. Yang mengajar
(manusia) dengan perantara kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak
diketahuinya. (QS. Al-‘Alaq/96:1-5).
Sejak turunnya wahyu
yang pertama kepada nabi Muhammad saw., Islam telah menekankan perintah untuk
belajar, ayat pertama juga menjadi bukti bahwa Al-quran memandang penting
balajar agar manusia dapat memahami seluruh kejadian yang ada disekitarnya,
sehingga meningkatkan rasa syukur dan mengakui akan kebesaran Allah. Pada ayat
pertama dalam surat Al-Alaq terdapat kata Iqra’, dimana melalui malaikat jibril
Allah memerintahkan kepada Muhammad untuk “membaca” (iqro’).
Menurut Shihab (1997)
iqra’ berasal dari akar kata yang berarti menghimpun. Dari menghimpun inilah
lahir aneka makna seperti menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti,
mengetahui ciri-ciri sesuatu, dan membaca baik teks tertulis maupun tidak.
Berbagai makna yang muncul dari kata iqra’ tersebut sebenarnya secara tersirat
menunjukkan perintah untuk melakukan kegiatan belajar, karena dalam belajar
juga mengandung kegiatan-kegiatan seperti mendalami, meneliti, membaca, dn lain
sebagainya.
Pengulangan perintah
membaca dalam wahyu pertama ini bukan sekedar menunjukkan bahwa kecakapan
membaca tidak akan diperoleh kecuali mengulang-ngulang bacaan atau membaca
hendaknya dilakukan sampai mencapai batas maksimal kemampuan. Tetapi hal itu
mengisyaratkan mengulang-ulang bacaan bismirobbik akan menghasilkan pengetahuan
dan wawasan baru.
Allah berfirman dalam
surat Al-Zumar ayat 9 yang berbunyi :
قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الْأَلْبَابِ
“Katakanlah : apakah
sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?
Sesungguhnya hanya orang-orang berakallah yang mampu menerima pelajaran”
Surat
Al-Isra’ ayat 36 :
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ
وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
“Dan janganlah kamu membiasakan diri daripada apa yang tidak kamu ketahui, karena sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan daya nalar pasti akan ditanya mengenai itu”
Perintah belajar
diatas, tentu saja harus dilaksanakan melalui proses kognitif dalam hal ini,
system memori yang terdiri atas memori sensasi, memori jangka pendek dan memori
jangka panjang berperan sangat aktif dan menentukan berhasil atau gagalnya
seseorang dalam meraih pengetahuan dan keterampilan. Islam memendang uman
manusia sebagai makhluk yang dilahirkan dalam keadaan kosong, tak berilmu pengetahuan,
namun Tuhan memberikan potensi yang bersifat jasmaniah dan rohaniah untuk
belajar dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi demi kemaslahatan umat
itu sendiri.
Adapun alat-alat yang
bersifat psikis seperti mata dalam hubungannya dengan kegiatan belajar
merupakan subsistem yang satu sama lain berhubungan secara fungsional
sebagaiman firman Allah dalam Q.S An-Nahl ayat 78 :
وَاللَّهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لَا تَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ
لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Dan Allah mengeluarkan
kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak tahu apa-apa. Dan Dia memberi kamu
pendengaran, penglihatan dan daya nalar agar kamu bersyukur”.
Kata Af-idah dalam ayat
ini menurut seorang pakar tafsir Al Quran Dr Quraissy Shihab (1992) berarti
daya nalar, yaitu potensi atau kemampuan berfikir logis atau kata lain “akal”.
Dalam Ibnu Katsir juz 11 halaman 580 Af-idah berarti akal yang menurut sebagian
orang tempatnya dijantung (Qalbu). Sedangkan sebagian lainya menyatakan bahwa
Af-idah itu terdapat dalam otak (dimagh).
Surat
al-Mujadalah ayat 11
Artinya: Allah akan
meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang yang diberi ilmu
beberapa derajat. Dan Allah Maha mengetahu apa yang kamu kerjakan. (QS.
al-Mujadalah: 11)
Surat Al-Baqarah
ayat 31
٣١. وَعَلَّمَ آدَمَ الأَسْمَاء كُلَّهَا
ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلاَئِكَةِ فَقَالَ أَنبِئُونِي بِأَسْمَاء هَـؤُلاء
إِن كُنتُمْ صَادِقِينَ
Artinya:
Dan Dia mengajarkan
kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada
para Malaikat lalu berfirman: Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika
kamu mamang benar orang-orang yang benar. (QS. al-Baqarah: 31) .Ayat ini
menunjukan kepada kita bahwa belajar dan menuntut ilmu itu sangat penting
sehingga kita banyak mengetahui sesuatu yang benar. Para Malaikat tidak bisa
menjawab pertanyaan dari Allah SWT karena mereka tidak mendapat proses
pendidikan dari Allah SWT, berbeda dengan Nabi Adam as yang bisa menjawab pertanyaan
dari Allah SWT karena telah diajarkan kepadanya. Disinilah letak pentingnya
pendidikan bagi umat manusia.
2.
Hadits Nabi
Selain al-Qur’an (firman Allah) yang menganjurkan umat Islam untuk belajar,
di dalam hadis Nabi Muhammad saw. juga memuji pentingnya ilmu dan orang-orang
yang terdiidik.Beberapa hadis tentang pentingnya belajar dan menuntut ilmu, di
antaranya adalah sebagai berikut:
عن انس مالك قال: أطلبوا العلم ولو بالصين فإن طلب العلم فريضة على كل مسلم
Artinya: Dari Anas ibn
Malik berkata ia : “Tuntutlah ilmu walau ke negeri Cina sekalipun. Sesungguhnya
menuntut ilmu itu diwajibkan atas tiap-tiap Muslim”.
Dalam catatan sejarah
disebutkan bahwa, bangsa Cina telah mengembangkan teknik pembuatan kertas,
pembuatan mesiu, pembuatan jam dan pembuatan kompas. Ini berarti bahwa,
perintah Nabi SAW kepada umat Islam untuk belajar ke negeri Cina mencakup
mempelajari semua pengetahuan Cina tersebut. Penggunaan kertas dalam kehidupan
ilmiah dewasa ini tak bisa dihindari. Kertas diperlukan umat Islam untuk
menulis al-Qur’an, kitab-kitab, Hadis, buku-buku agama, dan buku-buku ilmiah
lainnya. Begitu juga mesiu diperlukan umat Islam untuk mempertahankan diri dari
serangan musuh-musuh mereka. Sementara jam dapat membantu umat Islam mengetahui
waktu shalat dan waktu berbuka puasa serta imsak. Di samping itu juga tidak
kalah pentingnya kegunaan kompas yakni dapat membantu umat Islam dalam
menentukan arah kiblat. Namun karena isnad Hadis Malik ibn Anas ini sangat
lemah menurut para kritikus Hadis, maka Hadis Malik ibn Anas ini hanya bisa
dijadikan pendorong (al-targhib) untuk mempelajari semua pengetahuan teknik
tersebut. Analoginya, umat Islam dewasa ini pun harus mengadopsi ilmu
pengetahuan dan teknoloogi (IPTEK) sebagaimana dikenal di Barat.
Manusia diciptakan
sebagai khalifah di muka bumi, untuk menjalankan kepemimpinannya, manusia harus
memiliki pengetahuan untuk membantu dirinya dalam mengelola alam semesta ini.
Hidup di dunia maupun bekal di akhirat nanti harus berilmu, sebagaimana sabda
Rasulullah saw yang berbunyi:
مَن أَرَادَ الدنيَا فَعَلَيهِ بِالعِلم وَمَن أَرَادَ الاخِرَةَ فَعليهَ
بِالعلمَ وَمَن أَرَادَهُما فَعليهَ بالعلمِ
Artinya: Barangsiapa
yang menginginkan (kebahagian) hidup di dunia maka hendaklah ia berilmu, dan
barangsiapa yang meninginkan (kebahagian) hidup di akhirat maka hendaklah ia
berilmu, dan barangsiapa yang menhendaki kedua-keduanya maka hendaklah ia
berilmu.
Hadits tersebut
memberikan pembelajaran kepada kita umat Islam agar memiliki ilmu pengetahuan
baik ilmu pengatahuan agama maupun ilmu pengetahuan umum. Hadits Rasulullah saw
tersebut, dalam pandangan penulis menjelaskan tentang pentingnya pendidikan
bagi umat manusia. Ilmu pengetahuan merupakan bekal kita untuk hidup di dunia
dan akhirat. Tujuan dari proses pendidikan adalah untuk kesempurnaan dan
kemulian manusia itu sendiri. Dan hadits Nabi artinya :
“Carilah ilmu sejak dari buaian hingga liang lahat”.
Dari penjelasan di atas
dapat kami simpulkan bahwa belajar sepanjang hayat adalah suatu konsep, suatu
idea, gagasan pokok islam dalam konsep ini ialah bahwa belajar itu tidak hanya
berlangsung di lembaga-lembaga pendidikan formal seseorang masih dapat
memperoleh pengetahuan kalau ia mau, setelah ia selesai mengikuti pendidikan di
suatu lembaga pendidikan formal. Ditekankan pula bahwa belajar dalam arti
sebenarnya adalah sesuatu yang berlangsung sepanjang kehidupan seseorang.
Bedasarkan idea tersebut konsepbelajar sepanjang hayat sering pula dikatakan
sebagai belajan berkesinambungan (continuing learning). Dengan terus menerus
belajar, seseorang tidak akan ketinggalan zaman dan dapat memperbaharui
pengetahuannya, terutama bagi mereka yang sudah berusia lanjut. Dengan
pengetahuan yang selalu diperbaharui ini, mereka tidak akan terasing dari
generasi muda, mereka tidak akan menjadi snile atau pikun secara dini, dan
tetap dapat memberikan sumbangannya bagi kehidupan di lingkungannya. [16]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Teori belajar
behavioristik
Menurut teori behavioristik, belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai
akibat dari adanya interaksi antara stimulus dan respon. Dengan kata lain
belajar merupakan bentuk perubahan yang dialami siswa dalam hal kemampuannya
untuk bertingkah laku dengan cara yang baru sebagai hasil interaksi antara
stimulus dan respon. Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika ia dapat menunjukkan
perubahan tingkah lakunya. Misalnya, siswa belum dapat dikatakan berhasil dalam belajar Ilmu Pengetahuan Sosial
jika dia belum bisa/tidak mau melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan sosial
seperti kerja bakti, ronda dll.
2. Teori belajar kognitif
Teori belajar
kognitif berbeda dengan teori belajar behavioristik, teori belajar kognitif
leih mementingkan proses belajar dari pada hasil belajarnya. Para penganut
aliran kognitif mengatakan bahwa belajar tidak sekedar melibatkan hubungan
antara stimulus dan respon. Tidak seperti model belajar behavioristik yang
mempelajari prses belajar hanya sebagai hubungan stimulus-respon, model belajar
kognitif merupakan suatu bentuk teori belajar yang sering disebut sebagai model
perceptual. Model belajar kognitif mengatakan bahwa tingkah laku sesorang
ditentukan oleh persepsi serta pemahamannya tentang situasi yang berhubungan
dengan tujuan belajarnya. Perubahan
Belajar merupakan persepsi dan pemahaman yang tidak selalu dapat terlihat
sebaigai tingkah laku yang nampak.
3. Teori belajar
Humanistik
Dalam teori
belajar humanistik proses belajar harus berhulu dan bermuara pada manusia itu
sendiri. Meskipun teori ini sangat menekankan pentingya isi dari proses
belajar, dalam kenyataan teori ini lebih banyak berbicara tentang pendidikan
dan proses belajar dalam bentuknya yang paling ideal. Dengan kata lain, teori
ini lebih tertarik pada ide belajar dalam bentuknya yang paling ideal dari pada
belajar seperti apa adanya, seperti apa yang bisa kita amati dalam dunia
keseharian.. Teori apapun dapat dimanfaatkan asal tujuan untuk “memanusiakan
manusia” (mencapai aktualisasi diri dan sebagainya) dapat tercapai.
4. Konsep belajar menurut
islam
Menurut al-Zarnuji, belajar
bernilai ibadah dan mengantarkan seseorang untuk memperoleh kebahagiaan duniawi
dan ukhrawi. Karenanya, belajar harus diniati untuk mencari ridha Allah,
kebahagiaan akhirat, mengembangkan dan melestarikan Islam, mensyukuri nikmat
akal, dan menghilangkan kebodohan. Dimensi duniawi yang dimaksud adalah sejalan
dengan konsep pemikiran para ahli pendidikan, yakni menekankan bahwa proses
belajar-mengajar hendaknya mampu menghasilkan ilmu yang berupa kemampuan pada
tiga ranah yang menjadi tujuan pendidikan/ pembelajaran, baik ranah kognitif,
afektif, maupun psikomotorik.
B. Saran
Dalam pembuatan makalah ini masih banyak kekurangan kami, semoga makalah
ini bermanfaat dan dapat membatu rekan-rekan sekalian.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Ahmadi dan Widodo Supriyono. 2008. Psikologi Belajar.
Jakarta : Rineka Cipta.
C.Asri Budiningsih.2005. Belajar dan
Pembelajaran. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Dakir. 1993. Dasar-dasar Psikologi.
Jakarta : Pustaka Pelajar
M.Dalyono. 2007. Psikologi Pendidikan. Jakarta : Reneka
Cipta.
Mulyati. 2005. Psikologi Belajar. Yogyakarta:
CV. Andi Offset.
Ramayulis. 2006. Ilmu Pendidikan Islam.
Jakarta : Kalam Mulia.
Riyanto Yatim.
2009. Paradigma Baru Pembelajaran. Jakarta : Pranada Media Group.
Slavin. 2000. Belajar
dan Pembelajaran. Jakarta : Rineka Cipta
Soemanto.
Wasty. 1998. Psikologi Pendidikan.
Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada.
Uno. Hamzah.
2006. Orientasi Baru dalam Psikologi
Pembelajaran. Jakarta : PT
Bumi Aksara.
[11] Uno, Hamzah, Orientasi Baru dalam Psikologi
Pembelajaran, (Jakarta : PT Bumi Aksara, 2006) hal.13
Komentar
Posting Komentar