NAMA : M. ZACKY DEVITSON
NIM : 15.11.1957
JURUSAN : PAI (Pendidikan Agama Islam)
SEMESTER : IV A
MATA
KULIAH : FIQIH III
A. Definisi Ta’zir dan Dalil disyariatkanya
Ta’zir adalah bentuk mashdar dari kata ﻋَﺰَﺮَ۔ﻴَﻌْﺰِﺮُ yang secara etimologis berarti ﺍﻠّﺮَﺪُّﻮَﺍﻠْﻤَﻨْﻊُ, yaitu menolak dan mencegah. Kata ini juga memiliki arti ﻨَﺼَﺮَﻩُ
menolong atau menguatkan. Hal ini seperti dalam firman Allah berikut :
Atrinya: “Supaya kamu sekalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya,
menguatkan (agama)Nya, membesarkan-Nya, dan bertasbih kepada-Nya di waktu pagi
dan petang.”(QS.Al-Fath:9)
Jarimah Ta’zir secara bahasa adalah memberi pengajaran (al-ta’dib).
Sedangkan jarimah ta’zir menurut hukum pidana Islam adalah tindakan yang berupa
edukatif (pengajaran) terhadap pelaku dosa yang tidak ada sanki hadd dan
kifaratnya. Atau dengan kata lain, ta’zir adalah hukuman yang bersifat edukatif
dan hukumannya ditentukan oleh hakim, atau pelaku tindak pidana atau pelaku
perbuatan maksiat yang perbuatannya belum ditentukan oleh syari’at.[1]
Dasar hukum disyariatkannya sanksi bagi pelaku jarimah ta’zir adalah at-ta’zir
yadurru ma’a mashlahah artinya, hukum ta’zir didasarkan pada
pertimbangan kemashlahatan dengan tetap mengacu kepada prinsip keadilan dalam
masyarakat.
Menurut Syarbini al-Khatib, bahwa ayat al-Qur’an yang dijadikan landasan
adanya jarimah ta’zir adalah Qur’an surat al Fath ayat 8-9 yang artinya :
Artinya: “Sesungguhnya
kami mengutus kamu sebagai saksi, pembawa berita gembira dan pemberi
peringatan. Supaya kamu sekalian beriman kepada Allah SWT dan Rasul-Nya,
menguatkan (agama)Nya, membesarkan-Nya, dan bertasbih kepada-Nya di waktu pagi
dan petang”.
Dari terjemahan tersebut diatas kalimat watu’aziruhu diterjemahkan
dengan : dan supaya kamu teguhkan (agamanya) dan untuk mencapai tujuan ini,
satu diantaranya ialah dengan mencegah musuh-musuh Allah, sebagaimana yang
telah dikemukakan oleh Syarbini al-Khatib.
Adapun Hadits yang
dijadikan dasar adanya jarimah ta’zir adalah sebagai berikut :
1.
Hadits Nabi yang
diriwayatkan oleh Bahz ibn Hakim yang
Artinya “ Dari Bahz ibn Hakim dari ayahnya dari kakeknya, bahwa
Nabi SAW menahan seseorang karena disangka melakukan kejahatan.
2.
Hadits Nabi yang
diriwayatkan oleh Abi Burdah yang
Artinya “Dari Abu Burdah Al-Anshari RA. Bahwa ia mendengar Rasulullah
SAW bersabda :Tidak boleh dijilid diatas sepuluh cambuk kecuali didalam hukuman
yang telah ditentukan oleh Allah ta’ala (Muttafaqun Alaih)”.
3.
Hadits Nabi yang
diriwayatkan oleh Aisyah yang
Artinya “Dari Aisyah Ra. Bahwa nabi bersabda : Ringankanlah hukuman bagi
orang-orang yang tidak pernah melakukan kejahatan atas perbuatan mereka,
kecuali dalam jarimah-jarimah hudud”.
Secara umum ketiga hadits tersebut menjelaskan tentang eksistensi ta’zir
dalam syariat Islam. Hadits pertama menjelaskan tentang tindakan Nabi yang
menahan seseorang yang diduga melakukan tindak pidana dengan tujuan untuk
memudahkan boleh lebih dari sepuluh cambukan untuk membedakan dengan jarimah
hudud. Dengan batas hukuman ini dapatlah diketahui mana yang termasuk jarimah
hudud dan mana yang termasuk jarimah ta’zir. Menurut al-Kahlani, para ulama
sepakat bahwa yang termasuk jarimah hudud adalah zina, pencurian, minum khamr,
hirabah, qadzaf, murtad dan pembunuhan. Selain dari jarimah-jarimah tersebut,
termasuk jarimah ta’zir meskipun ada juga beberapa jarimah yang diperselisihkan
oleh para fuqaha, seperti liwath, lesbian, dan sedangkan hadits ketiga mengatur
tentang tekhnis pelaksanaan hukuman ta’zir yang bias berbeda antara satu satu
pelaku lainnya, tergantung kepada status mereka dan kondisi-kondisi lain yang
menyertainya.
Adapun tindakan sahabat yang dapat dijadikan dasar hukum untuk jarimah dan
hukuman ta’zir antara lain tindakan Sayyidina Umar ibn Khattab yang melihat
orang menelentangkan seekor kambing kemudian dia mengasah pisaunya. Khalifah
Umar memukul orang tersebut dengan cemeti dan ia berkata : “Asah dulu pisau
itu”[2].
B. Perbedaan antara hudud dan ta’zir
1.
Dalam jarimah hudud tidak ada pemaafan, baik oleh perorangan
maupun oleh ulul amri. Sedangkan jarimah ta’zir kemungkinan pemaafan itu ada,
baik oleh perorangan maupun oleh ulul amri, bila hal itu lebih maslahat.
2.
Dalam jarimah ta’zir hakim dapat memilih hukum yang lebih
tepat bagi si pelaku sesuai dengan kondisi pelaku, situasi, dan tempat
kejahatan. Sedangkan dalam jarimah hudud yang diperhatikan oleh hakim hanyalah
kejahatan material.
3.
Pembuktian jarimah hudud dan qishas harus dengan saksi atau
pengakuan, sedangkan pembuktian jarimah ta’zir sangat luas kemungkinannya.
4.
Hukuman Hudud tidak dapat dikenakan kepada anak kecil, karena
syarat menjatuhkan had si pelaku harus sudah baligh sedangkan ta’zir itu
bersifat pendidikan dan mendidik anak kecil boleh.[3]
C. Pendapat ulama’ terkait hukuman mati sebagai ta’zir
Hukuman ta’zir juga terdapat dalam Undang-undang No.31
Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Pada umumnya sanksi-sanksi yang terdapat di dalam
undang-undang berasal dari sisi ta’zir. Undang-undang itu sebagai satu-satunya aturan yang dirumuskan
untuk menanggulangi berbagai kejahatan dan menghalangi pelaku kejahatan.
Undang-undang juga berfungsi menjaga kemaslahatan, menegakkan keadilan dan
ketentraman, serta menjaga keamanan dan kenyamanan.
Mengenai eksistensi hukuman mati sebagai qishash
dan hudud memang disepakati oleh ulama. Hukuman mati sebagai qishash secara
tegas disebutkan dalam Surah Al-Baqarah ayat 178. Demikian juga hukuman mati
sebagai hudud bagi pelaku perampokan, zina mukhson, murtad, dan pemberontakan.
Akan tetapi, hukuman mati sebagai ta’zir tidak sebulat kesepakatan ulama dalam
hal hukuman mati sebagai qishash dan hudud. [4]
Hukuman mati sebagai ta’zir memang diperbolehkan.
Akan tetapi, hal itu tergantung dari jarimah apa yang dilakukan. Berikut
pendapat ulama :
1.
Menurut Ulama Kalangan Hanafiyah
Menurut mereka hukuaman mati sebagai ta’zir dapat
diterapkan sebagai pertimbangan politik Negara dan berlaku jarimah tertentu
seperti sodomi, atau pelecehan terhadap Nabu Muhammad SAW,merampok, berulang
kali mencuri, berselingkuh.
2.
Menurut Sebagian Ulama kalangan Syafi’iyah
Hukuman mati sebagai ta’zir dapat diberlakukan
terhadap orang yang mengajak orang lain untuk melakukan
penyimpangan-penyimpangan agama yang bertentangan dengan Alquran dan hadis.
3.
Menurut Ulama Kalangan Malikiyah
Menurut mereka hukuman mati sebagai ta’zir
diperbolehkan, sebagaimana hukuman mati bagi mata-mata muslim tetapi memihak
musuh.
4.
Menurut Ulama Kalangan Hanabilah
Ibnu Aqil berpendapat bahwa mata-mata muslim yang
membocorkan rahasia kepada musuh boleh dihukum mati sebagai ta’zir. Pendapat
ini sama dengan pendapat yang mengatakan bahwa para pelaku bid’ah atau
orang-orang yang selalu berbuat kerusakan juga boleh dihukum mati.
Pada dasarnya hampir semua ulama membolehkan
sanksi mati sebagai hukuman ta’zir apabila ada kemanfaatan dan keadaan pun
menuntut untuk itu. Umpamanya, ulul amri berpendapat, tiadanya harapan si
mujrim dapat menghentikan perbuatannya, tipisnya si pelaku dapat menjadi baik
kembali (dengan parameter pengulangan yang sering dilakukan), atau situasi
menghendaki dia harus dimusnahkan dari muka bumi. Maka para ulama membolehkan
hukuman mati bagi residivis, penyebar bid’ah, dan jenis lain yang dianggap
sangat berbahaya.[5]
D. Ta’zir Dengan Hukuman Mengambil/menyita Hartanya
Perbuatan-perbuatan maksiat yang tidak
dikenakan hukuman had dan tidak pula kifȃrat,
seperti perdugaan pencurian, percobaan pembunuhan yang dapat dikategorikan
kepada maksiat, hukuman semacam ini disebut hukuman ta‘zȋr.[6] Menurut
Ahmad Wardi Muslich mengutip dari keterangan Abdul Aziz Amir, merincikan bahwa
“...Jarimah ta‘zȋr yang berkaitan dengan penyitaan / perampasan harta ( denda),
adalah pembagian dari jarȋmah ta‘zȋr, yang hukumannya masih
diperselisihkan oleh para fuqahȃ”.[7]
Jadi melihat dari pengertian di atas
sasaran yang ingin dicapai oleh Syari’at Islam melalui penetapan hukuman di
dunia bertujuan untuk: Pertama, mempersiapkan manusia untuk menjadi
warga yang baik dan produktif bagi pembinaan kesejahteraan masyarakat. Kedua, memberikan
kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat yang akan terwujud bila ada jaminan atas
hak-hak individu dan masyarakat dengan cara seadil-adilnya, dengan saling
berwasiat dalam kebaikan dan mencegah kejahatan. Ibnu Qayyim Al-Jauziyah
rahimahullah mengatakan;” dimana terdapat kemaslahatan dan kepentingan
umum, disanalah terdapat syari’at.” [8]
Berangkat dari permasalahan syari’at Islam, meskipun
telah dijelaskan tentang bentuk-bentuk pelanggaran (jarȋmah) serta
hukuman-hukumannya, terkadang permasalahan kehidupan sosial yang sedang
dihadapi sangat beraneka ragam. Salah satu contoh adalah permasalahan yang
aktual di lingkungan pondok pesantren pada saat ini. Suatu fenomena yang
terjadi di lingkungan pondok pesantren yaitu pelanggaran peraturan (disiplin)
dan barang-barang yang tercecer seakan tidak bertuan, contoh nya seperti
pakaian, buku, kitab dan mushaf yang terlupakan oleh pemiliknya. Namun disaat
pelanggaran disiplin tersebut serta barang-barang semakin bertambah banyak
seakan sudah menjadikan kebiasaan para santriwan / santriwati sehari-hari,
hingga mereka tidak merasakan hal itu sebagai sebuah kesalahan ataupun
pelanggaran peraturan pondok, hal ini menjadi dilema bagi pengurus pondok dalam
mewujudkan lingkungan yang tertib, bersih dan rapi. Berbagai upaya sudah
dilakukan, akan tetapi semua itu menemui jalan buntu. Hingga akhirnya
diterapkan suatu peraturan dimana para pelanggar disiplin, dapat terhindar dari
hukumanya, Serta barang-barang yang tersita pengurus dapat diambil pemiliknya
setelah menebus dengan sejumlah uang. Dan jika barang-barang yang tersita oleh
pengurus tersebut dalam jangka waktu tertentu sang pemilik belum menebus
barangnya, maka akan dijual dengan harga murah yang hasilnya masuk Kas
Pondok. Ta‘zȋr (hukuman) semacam ini dilakukan oleh pengurus
dan dianggap sebuah tradisi pondok pesantren dalam menertibkan lembaga atau
warganya. Di pihak lain, masyarakat pun juga menganggap hukuman (ta‘zȋr)
semacam ini adalah sebuah tradisi yang biasa dilakukan dalam upaya
mempercepat proses penyelesaian berbagai permasalahan dan pelanggaran yang
dilakukan. Seperti pengambilan uang terhadap seorang pelanggar lalu lintas pada
saat pengendara tidak membawa surat lengkap dan lain sebagainya, tanpa melalui
proses sidang sebagaimana yang telah ditetapkan dalam undang-undang.
Permasalahan di atas termasuk salah satu
contoh dari hukuman ta‘zȋr bil mȃl (denda uang). Ta‘zȋr
bil mȃl adalah hukuman yang di berlakukan bagi orang yang melakukan
pelanggaran (tindak pidana) yang belum dapat dikenai hukum had atas
perbuatanya itu, atau hukuman yang di berlakukan bagi orang yang meninggalkan
peraturan yang wajib ditaati. yaitu dengan cara mengambil / menyita sementara
sebagian harta dari pelaku pelanggaran (orang yang dihukum) tersebut, sebagai
denda dan hukuman atas perbuatanya. Harta itu bukan disita untuk dimiliki oleh
hakim (ulil amri) sendiri, atau dimasukkan ke dalam baitul mȃl.[9]
[1]
Rokhmadi, Reformasi Hukum Pidana Islam (Semarang : Rasail Media
Group, 2009), cet.1 hal 66
[3]
http://mnahdi-mnahdi.blogspot.co.id/2008/11/perbedaan-jarimah-tazir-dengan-hudud.html
[4] M.. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, Jakarta:
Amzah, 2013, hlm. 202-203
[6] Muhammad Hasbi
Ash-Shiddieqy, Hukum-hukum Fiqh Islam Yang Berkembang di Kalangan Ahlus
Sunnah, (Jakarta: Bulan Bintang, tt), h. 571.
[7] Ahmad Wardi
Muslich, Hukum Pidana Islam, (ttp: Sinar Grafika, tt), h. 255-267.
[8] Abdurrahman
Madjrie dan Fauzan Al-Anshari,Qishas Pembalasan yang Hak,(Jakarta: Khaerul
Bayan, 2003), Cet. 1. h. 9-10.
[9] Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islȃmy Wa Adillatuhu, Juz VI,
(Damaskus: Dar Al-Fikri, tt), h. 202
Komentar
Posting Komentar