BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Dalam
sejarah Islam, mulanya berkembang pemikiran rasional, tetapi kemudian
berkembang pemikiran tradisional. Pemikiran rasional berkembang pada Zaman
Klasik Islam, sedangkan pemikiran tradisional berkembang pada Zaman Pertengahan
Islam (1250-1800 M).
Pemikiran
rasional dipengaruhi oleh persepsi tentang bagaimana tingginya kedudukan akal
seperti terdapat dalam AI-Quran dan hadits. Pertemuan Islam dan peradaban
Yunani ini melahirkan pemikiran rasional di kalangan ulama Islam Zaman Klasik.
Oleh karena itu, kalau di Yunani berkembang pemikiran rasional
yang sekular, maka dalam Islam Zaman Klasik berkembang pemikiran
rasional yang agamis. Pemikiran ulama filsafat dan ulama sains, sebagaimana
halnya pada para ulama dalam bidang agama sendiri, terikat pada ajaran-ajaran
yang terdapat dalam kedua sumber utama tersebut. Dengan demikian, dalam sejarah
peradaban Islam, pemikiran para filosof dan penemuan-penemuan ulama sains tidak
ada yang bertentangan dengan AI-Quran dan hadits.[1]
Dalam
pemikiran rasional agamis manusia punya kebebasan dan akal mempunyai kedudukan
tinggi dalam memahami ajaran-ajaran Al-Qur’an dan hadits. Kebebasan akal hanya
terikat pada ajaran-ajaran absolut kedua sumber utama Islam itu, yakni
ajaran-ajaran yang disebut dalam istilah qath ‘iy
al-wurud dan qath’iy al-dalalah. Maksud ayat Al-Qur’an dan hadits
ditangkap sesuai dengan pendapat akal.[2]
Sedangkan
pemikiran tradisional, peran akal tidak begitu menentukan dalam memahami ajaran
Al Qur’an dan hadis. Pemikiran tradisional bukan saja terikat pada Al Qur’an
dan hadits tetapi juga pada ajaran-ajaran hasil ijtihad Ulama Zaman Klasik yang
jumlahnya sangat banyak. Karenanya, pemikiran tradisional sulit menyesuaikan
diri dengan perkembangan modern sebagai hasil dari filsafat, sains dan
teknologi.[3]
Sejak abad
kesembilan belas ini kembali tumbuh di Dunia Islam pemikiran rasional yang agamis
dengan perhatian pada filsafat, sains, dan teknologi. Di abad kedua puluh
perkembangan itu lebih maju lagi, lahir interpretasi rasional dan baru atas
Al-Qur’an dan hadits. Pemikiran tradisional Islam segera mendapat tantangan
dari pemikiran rasional agamis ini.[4]
Menyadari
adanya ketertinggalan pembaharuan pemikiran, akibat pengaruh perkembangan
pemikiran tradisional yang masih kuat hingga abad ini, menghendaki
lahirnya beberapa tokoh pembaharu yang fokus akan relevansi agamanya bagi dunia
modern. Dan dalam iklim pembaharuan pemikiran yang masih lesu semacam itu,
kehadiran tokoh seperti Harun Nasution yang dipandang sebagai tokoh pemikir
Islam rasionalis di Indonesia.
Harun
Nasution adalah seorang intelektual muslim yang sangat rasionalis, sehingga
dengan faham rasionalnya itu ia berusaha bagaimana bisa membawa umat Islam di
Indonesia ke arah rasionalitas, bagaimana agar di kalangan umat Islam
Indonesia itu tumbuh pengakuan atas kapasitas manusia kadariah,
tidak terlalu didominasi oleh paham Asyi’arisme yang
sangat Jabariah ( terlalu menyerah pada takdir ), dan kurang
menghargai kapasitas akal (rasio) untuk melakukan ikhtiar dalam perubahan
nasib.[5]
Islam pernah
berjaya pada masanya. Kejayaan tersebut diperoleh karena para ulama
mengedepankan akal dalam membaca segala sesuatu tanpa mengesampingkan Al Qur’an
dan Hadits. Oleh karena itu, sangat penting bagi umat Islam untuk mengkaji
kembali mengenai gagasan-gagasan tokoh yang memandang Islam sebagai agama yang
dinamis. Hal ini perlu dilakukan untuk memperkaya khasanah pengetahuan para
intelektual muslim dan untuk menjawab berbagai tantangan dalam dunia global
yang telah dan akan dihadapi umat Islam.
B. Rumusan
Masalah
Pada makalah ini penulis merumuskan
beberapa masalah sebagai berikut :
1.
Siapakah Harun nasution?
2.
Apakah Islam rasional?
3.
Bagaimanakah Pendekatan Islam
Rasional Harun Nasution?
C. Tujuan
Dari rumusan masalah diatas, maka
makalah ini bertujuan untuk mengetahui :
1.
Biografi singkat Harun
nasution.
2.
Mengetahui sekilas
tentang Islam rasional.
3.
Pendekatan Islam Rasional Harun
Nasution.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi
Harun Nasution
Harun
Nasution lahir Selasa, 23 September 1919 di Pematang Siantar, Sumatera Utara.
Putra dari Abdul Jabbar Ahmad, seorang pedagang asal Mandailing dan qadhi (penghulu)
pada masa pemerintahan Belanda di Kabupaten Simalungun, Pematang Siantar. Ayah
Harun juga seorang ulama yang menguasai kitab-kitab Jawi dan suka membaca kitab
kuning berbahasa Melayu. Sedangkan, ibunya seorang boru Mandailing Tapanuli,
Maimunah keturunan seorang ulama, pernah bermukim di Mekkah, dan mengikuti
beberapa kegiatan di Masjidil Haram. Harun berasal dari keturunan yang taat
beragama, keturunan orang terpandang, dan mempunyai strata ekonomi yang
lumayan. Kondisi keluarganya yang seperti itu membuat Harun bisa lancar dalam
melanjutkan cita-citanya mendalami ilmu pengetahuan.
Harun
memulai pendidikannya di sekolah Belanda, Hollandsch Inlandche School (HIS)
pada waktu berumur 7 tahun. Selama tujuh tahun, Harun belajar bahasa Belanda
dan ilmu pengetahuan umum di HIS itu. Dia berada dalam lingkungan disiplin yang
ketat. Di lingkungan keluarga, Harun memulai pendidikan agama dari lingkungan
keluarganya dengan belajar mengaji, shalat dan ibadah lainnya.
Selama 7
tahun ia belajar di HIS dan tamat pada tahun 1934 ketika berumur 14 tahun.
Pelajaran yang disenanginya adalah ilmu pengetahuan alam dan sejarah.
Harun
melanjutkan pendidikan ke sekolah agama yang bersemangat modern (MIK). Setelah
sekolah di MIK, ternyata sikap keberagamaan Harun mulai tampak berbeda dengan
sikap keberagamaan yang selama ini dijalankan oleh orang tuanya, termasuk
lingkungan kampungnya. Harun bersikap rasional sedang orang tua dan
lingkungannya bersikap tradisional.
Di negeri
gurun pasir itu, Harun tidak lama dan memohon pada orang tuanya agar
mengizinkannya pindah studi ke Mesir. Di Mesir, dia mulai mendalami Islam pada
Fakultas Ushuluddin, Universitas Al-Azhar, di Kairo.
Pada usia 24
tahun beliau rnenikahi gadis Mesir, Sayedah. Pada saat itu pula Harun telah
menyelesaikan studinya di Universitas Amerika di Cairo yang berhasil
mendapatkan gelar B. A (serjana muda).
Pada tahun
1953 ia kembali ke Indonesia dan bertugas di Departemen Luar Negri bagian Timur
Tengah. Tugas diplomatnya berlanjut kembali sejak ia bekerja di kedutaan RI di
Brussel mulai akhir Desember 1955. Pada tahun 1969 Harun Nasution kembali ke
tanah air, dan melibatkan diri dalam bidang akademis dengan menjadi dosen IAIN
dan IKIP Jakarta, dan pada Universitas Nasional. Kegiatan akademis dirangkapnya
dengan jabatan Rektor pada IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta selama 11 tahun dan
tahun 1973-1984, menjadi ketua Lembaga Pendidikan Agama IKIP Jakarta, dan sejak
tahun 1982-1997 menjabat sebagai Dekan fakultas Pascasarjana IAIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.[6]
Banyak karya
Harun yang menggambarkan pemikiranya tentang Islam, selain dalam bentuk
buku juga dalam bentuk tulisan-tulisan dalam jurnal dan majalah-majalah,
sebuah makalahnya yang komprehensif memuat pemikiranya tentang islam
adalah ketika ia masih duduk di bangku kuliah McGill. Beberapa karyanya
dalam bentuk Buku diantaranya adalah:
1. Muhammad
Abduh dan teologi rasional Mu’tazilah.
Ini
merupakan Desertasinya di McGill university, Canada. Tasis akhir dari buku
ini menyebutkan bahwa corak pemikiran teologi yang dikembangkan Abduh,
sangat dipengaruhi oleh Teologi Mu’tazilah, Harun berpandangan pemikiran
seperti ini harus dikembangkan di dunia Islam.
2. Islam
Rasional: Gagasan dan pemikiran Prof.Dr.Harun Nasution.
Buku ini
merupakan hasil dari tulisan-tulisannya dalam berbagai kesempatan yang kemudian
disusun menjadi sebuah buku, buku ini membahas tentang permasalahan social
dipandang dari sudut Islam secara tidak langsung juga buku ini menjelaskan
bahwa islam begitu respon dengan perkembangan zaman dan masyarakat
kontentporer.
3. Islam
Ditinjau dari Berbagai Aspeknya.
Dalam buku
ini Harun menjelaskan bahwa Islam itu begitu luwes serta mampu menjawab
tantangan zaman dan Islam tidak hanya dapat di pahami dari satu aspek. sejarah
Islam telah mencatat berbagai interpretasi dari berbagai zaman juga berbagai
problem masyarakat.
4. Teologi
Islam, Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan.
Buku ini
membahas tentang pemikiran teologi yang pernah lahir dan berkembang dalam Islam
juga penjelasan berbagai aspek Teologi menurut aliran-aliran tersebut.
5. Filsafat dan
Mistisme dalam Islam.
Sengaja buku
ini diberi judul dengan Mistisme dalam Islam karena Harun ingin buku ini
mendapat sambutan dari khalayak terhadap isinya pada dasarnya isi buku ini juga
membahas tentang Tasauf dan kronologis lahirnya dalam Islam.[7]
B. Sekilas
tentang Islam Rasional
1. Pengertian
Islam Rasional
Islam
rasional merupakan salah satu corak paham ke-islaman yang dianut sebagian kecil
masyarakat muslim Indonesia, yaitu oleh mereka yang memiliki latar belakang
pendidikan tinggi, atau oleh mereka yang mempelajari Islam pada perguruan
tinggi di Barat. Keberadaannya sering dicurigai, karena dikhawatirkan akan
membawa paham keislaman yang didasarkan kepada kemauan akal pikirannya semata,
atau menafirkan ajaran al Qur’an dan al Sunah menurut kehendak hatinya.[8]
Secara
global, Islam adalah ajaran yang diwahyukan Tuhan kepada Nabi Muhammad SAW
dengan tujuan memberikan petunjuk kepada manusia untuk hidup bahagia di dunia
dan akhirat. Sedangkan kata rasional, berasal dari bahasa
Inggris, rational, yang berarti masuk akal, berakal.[9] Kata
rasional selanjutnya dapat berarti pemikiran, pandangan, dan pendapat yang
sejalan dengan pendapat akal. Sedangkan pengertian dari akal dapat berarti daya
berpikir yang ada dalam diri manusia dan merupakan salah satu daya dari jiwa
serta mengandung arti berpikir, memahami dan mengerti.[10] Kata akal
berasal dari bahasa Arab, yaitu aqala, yang berarti mengikat dan
menahan. Pada zaman jahiliyah orang yang berakal (‘aqil) adalah orang-orang
yang dapat menahan amarahnya dan mengendalikan hawa nafsunya, sehingga dapat
mengambil tindakan yang bijaksana dalam menghadapi persoalan.[11]
Secara
terminologis dapat dikatakan bahwa yang dimaksud rasional adalah sesuatu yang
masuk akal. Rasional dapat juga berarti potensi rohaniah sehingga manusia dapat
membedakan antara yang benar dan yang salah. Isalam rasional adalah Islam yang
dalam menjelaskan ajaran-ajarannya tidak hanya mengandalkan pendapat wahyu,
tetapi juga mengikutsertakan akal pikiran. Islam rasional juga berarti Islam
yang menghargai pendapat akal pikiran dan menggunakannya untuk memperkuat dalil-dalil
ajaran agama. Dan juga berarti Islam yang menjelaskan hikmah filosofi dari
suatu teks atau perintah atau larangan yang terdapat dalam wahyu. Misalnya
Allah SWT memerintahkan shalat, maka akal digunakan untuk mencari hikmah yang
terdapat dalam perintah shalat.[12]
2. Ciri-ciri
Islam rasional
Islam
rasional memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a.
Menggunakan akal pikiran dalam
memperkuat argumen ajaran-ajaran agaa yang dimajukannya, tanpa meninggalkan
wahyu.
b.
Selalu mencari hikmah yang dapat
diterima akal dari suatu ajaran agama.
c.
Islam rasional selalu berpikir
sistematik, radikal dan universal.
d.
Selalu bertanya dengan menggunakan
pertanyaan mengapa.
e.
Pemikirannya sejalan dengan
hukum-hukum Tuhan yang ada di alam.
f.
Mencari penyesuaian antara pendapat
akal dengan pendapat wahyu.
g.
Hasil pemikiran akal dianggap bukan
sesuatu yang final, melainkan hanya sementara. Untuk itu pintu ijtihad tidak
pernah tertutup.
Mereka yang
memiliki sifat-sifat demikian itu, dapat dikatakan sebagai Islam rasional.[13]
C. Pendekatan
Islam Rasional Harun Nasution
1. Kodifikasi
aliran teologi Islam.
Berbicara
tentang teologi tentunya kita sedang berbicara minimal menyangkut empat hal
diantaranya adalah ; kekuasaan, kehendak mutlak tuhan, keadilan tuhan,
perbuatan tuhan dan yang terakhir adalah takdir dan sunnatullah.
Pembahasan-pembahasan
yang pernah mengemuka dalam Islam, terutama pada awal-awalnya, lebih disebabkan
oleh keadaan ketidak puasan sekelompok masyarakat muslim, terhadap proses
tahkim atau albitrase, ekses dari keadaan inilah yang telah memaksa golongan
tertentu untuk mengunakan logika dan pembenaran perbuatan, pandangannya dengan
menggunakan alqur’an serta menghukum kelompok diluar mereka, perseteruan
penjang ini telah melahirkan berbagai kelompok dan sekte-sekte dengan pemikiran
dan pendangan-pandangan mereka yang khas. Diantara kelompok-kelompok itu
adalah:
a. Khawarij
Khawarij
adalah kelompok pertama pada mulanya khawarij mempersoalkan tentang Imamah
tetapi pada akhirnya tidak lagi mempersoalkan tentang Imamah akan tetapi mereka
telah memasuki persoalan teologi dimana Khawarij mempertanyakan tentang
siapakah yang disebut mukmin dan siapa pula yang disebut dengan kafir dan siapa
pula yang masih dalam Islam dan tidak, karena menurut Khawarij orang yang
melakukan dosa besar dapat dianggap kafir.
b. Murji’ah
Kelompok ini
kembali menegaskan bahwa manusia yang berbuat dosa besar tetap diakui sebagai
mukmin bukan kafir, menyangkut dosa yang ia lakukan mereka beranggapan itu
adalah hak Tuhan untuk mengampuni atau tidak.
c. Mu’tazilah
Ini adalah golongan
yang sangat luar biasa diyaman, mu’tazilah menganggap bahwa orang yang
melakukan dosa besar bukan Islam dan juga bukan kafir tetapi orang-orang
tersebut berada diantara mukmin dan kafir sehingga mereka berpendapat bahwa
diakhirat akan ada tempat diantara syurga dan nereka untuk pelaku dosa besar
populernya tempat tersebut dianamakan al manzila bain al manzilatain.
d. Qadariah
Kelompokqadaria
mengatakan bahwa tiap manusia bebas bertindak menurut mereka sendiri tidak ada
campur tangan Tuhan sehingga dalam bahasa Ingris dikenal dengan istilah, Free
will dan free act. Ini merupakan konsep manusia menurut golongan Qadariah.
e. Jabariah
Jabariah
memiliki ideology bahwa, manusia tidak memiliki hak dan kemampuan sebagaimana
yang dikemukakan oleh Qadariah, akan tetapi menurut Jabariah bahwa segala
tindakan dan prilaku manusia adalah paksaan dari Tuhan.[14]
2. Teologi
Islam dan Upaya Peningkatan Produktivitas
Dalam agama
terdapat dua ajaran yang erat kaitannya dengan produktivitas. Pertama,
agama mengajarkan bahwa sesudah hidup pertama di dunia yang bersifat material
ini, ada hidup kedua nanti di akhirat yang bersifat spiritual. Bagaimana ajaran
ini terhadap produktivitas dari penganut agama bersangkutan sangat bergantung
dari kedua corak hidup tersebut. Apabila kehidupan duniawi dipandang penting,
maka produktivitas akan meningkat. Tetapi, sebaliknya, kalau hidup akhirat yang
diutamakan, produktivitas akan menurun.
Kedua, agama
memiliki ajaran mengenai nasib dan perbuatan manusia. Kalau nasib manusia telah
ditentukan Tuhan sejak semula, dalam arti bahwa perbuatam manusia adalah
ciptaan Tuhan. Maka produktivitas masyarakat yang menganut paham keagamaan
seperti demikian akan sangat rendah sekali. Tetapi dalam masyarkat yang
menganut paham bahwa manusialah yang menciptakan perbuatannya, produktivitas
akan tinggi. Paham pertama dikenal dengan filsafat fatalisme (Jabariyah) dan
paham kedua disebut Qodariyah atau kebebasan manusia dalam kemauan dan
perbuatan.
Di dalam
Al-Qur’an dan hadis, hidup di dunia yang bersifat material dan hidup di akhirat
yang bersifat spiritual sama pentingnya.
Carilah apa yang dianugerahkan Allah bagimu di akhirat dan jangan lupakan bagianmu di dunia.(QS Al Qashas:77)
Carilah apa yang dianugerahkan Allah bagimu di akhirat dan jangan lupakan bagianmu di dunia.(QS Al Qashas:77)
Artinya: dan
di antara mereka ada orang yang bendoa: "Ya Tuhan Kami, berilah Kami
kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah Kami dari siksa
neraka”
Sebuah hadis
menyatakan bahwa berbuatlah untuk duniamu
seolah-olah engkau akan hidup selama-lamanya, dan berbuatlah untuk akhiratmu
seolah-olah engkau akan mati esok hari.
Al-Qur’an
sendiri mengandung ajaran-ajaran yang dapat melahirkan baik filsafat fatalism
(Jabariyah) maupun Qodariyyah. Yang dapat membawa orang pada faham fatalisme
dapat ditemukan misalnya pada ayat-ayat berikut:
Tiada suatu bencanapun
yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah
tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. (QS Al
Hadid:22).
Maka (yang
sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allahlah yang membunuh
mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah
yang melempar (QS Al Anfal: 17)
Sementara
itu yang dapat membawa orang pada paham Qodariyah, dapat dilihat misal dalam
ayat berikut: Dan katakanlah:
"Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin
(beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia
kafir" (QS Al Kahfi:29).
3. Islam
Rasional Harun Nasution
Apa yang
menjadi dasar atau latar belakang bagi Harun Nasution, tentang pentingnya
perubahan konsep teologi yang dianut dan difahami oleh masyarakat Indonesia
saat ini, apakah konsep teologi yang umumnya diyakini oleh sebagian besar umat
Islam Indonesia tidak relevan lagi.
Dari
beberapa karya Harun Nasution tentang pentingnya perubahan pemahaman teologi
umat Islam Indonesia adalah dikarenakan konsep teologi yang umumnya difahami
oleh masyarakat Indonesia telah menyebabkan masyarakat Indonesia lemah dan
malas dalam produktifitas, ini dikarenakan pemahaman tentag konsep kekuasaan
tuhan yang absolut yang merupakan ajaran teologi asya’ariyah, dengan alasan ini
Harun Nasution mencoba mengubah pemahaman ini dengan pendekatan teologi yang
dikembangkan oleh golongan mu’tazilah, dimana menurut golongan mu’tazilah bahwa
manusia mempunyai kekuasan dan kemampuan untuk memanfaatkan segala potensi yang
dimilikinya dengan menggunakan kemampuan fikir dan olah budi dengan alasan ini,
diharapkan manusia Indonesia tidak berpangku tangan menerima nasib namun
mencoba merubah nasib itu dengan usaha sungguh-sungguh, sebab manusia bisa
berhasil dengan kemampuannya yaitu kemampuan untuk berpikir dan berkarya.
Harun Nasution
adalah sosok seorang intelektual muslim yang terkenal sangat rasionalis. Hal
itu tercermin dalam pandangan-pandangannya, seperti; bagaimana membawa umat
Islam khususnya di Indonesia kearahrasionalitas, dan bagaimana agar di kalangan
umat Islam Indonesia itu tumbuh kapasitas pengakuan terhadap manusiaqadariyah.[15] Harun
sering menyatakan bahwa salah satu sebab kemunduran umat Islam Indonesia adalah
akibat dominasi Asy'arisme yang sangat bersifat Jabariah (terlalu menyerah pada
takdir). Dua pertanyaan tersebut cukup menjadi alasan tentang
pandangan–pandangan rasional Harun Nasution. Faham rasional ini terlihat dalam
beberapa tulisan Harun yang menyatakan, bahwa dinamika di kalangan umat Islam
itu harus dihidupkan kembali dengan cara menjauhkan diri dari
faham zuhud, yaitu faham yang meninggalkan hidup duniawi dan
mementingkan hidup rohani yang banyak terdapat dalam aliran tarekat sufi yang
mengalihkan perhatian umat Islam dari kehidupan duniawi kepada kehidupan alam
gaib. Kecuali itu umat Islam harus pula menjauhkan diri dari faham tawakkal dan
faham jabariyah, mengembalikannya ke teologi yang mengandung paham
dinamika dan kepercayaan kepadarasio dalam batas yang ditentukan oleh
wahyu, serta harus dirangsang untuk berfikir dan banyak berusaha.[16] Harun
menambahkan, bahwa teologi kehendak mutlak Tuhan dengan pemikiran tradisional,
non filosofis dan non ilmiah, telah begitu besar mempengaruhi terhadap umat
Islam Indonesia sejak semula. Banyak umat Islam Indonesia yang sangat percaya
bahwa, nasib secara mutlak itu terletak ditangan Tuhan, manusia tidak berdaya
dan hanya menyerah kepadaqadha dan qadar Tuhan. Karena
berkembangnya teologi kehendak mutlak Tuhan ini, banyak umat Islam yang
ragu-ragu dan kurang percaya akan adanya sunatullah, maka usaha manusiapun tak
banyak artinya, usahapun hanya sedikit dijalankan dan do’a yang
diperbanyak. Yang pasti sikap serupa ini tidak banyak menolong bagi
meningkatnya produktifitas.[17]
Harun
Nasution mengusung gagasan Islam rasional yang menitik beratkan apa
yang dimaksud dengan wahyu dan iman manusia. Wahyu adalah tanda keadilan Tuhan,
kebaikan dan kewajiban manusia, maka dari sudut manusia iman adalah tanggapan
manusia mengenai wahyu Tuhan. Karena itu, wahyu dan iman merupakan dua entitas
yang saling menanggapi. Wahyu Tuhan baru benar-benar mempunyai arti jika
ditanggapi oleh iman manusia.[18] Sementara
itu, dalam mengembangkan paham rasionalnya, Harun Nasution menunjukkan bahwa al
Qur’an sangat menghargai akal pikiran. Kemunduran umat Islam di Indonesia
antara lain disebabkan karena paham taklid, yakni mengikuti pendapat orang lain
secara pasif. Paham ini yang menyebabkan umat Islam statis, tidak kritis, dan
kurang menghargai ilmu pengetahuan.[19] Untuk
itu, dalam berbagai tulisannya Harun selalu menghubungkan akal dengan wahyu, dan
lebih tajam lagi melihat fungsi akal itu dalam pandangan Alquran yang demikian
penting dan bebas.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari pemaparan di atas dapat diambil
kesimpulan bahwa:
Dari
kesadaran para ulama maka lahirlah pembaharuan dalam Islam. Para pemikir
pembaharuan dalam Islam mempunyai keinginan untuk mengejar ketertinggalan umat
Islam dengan menghidupkan kembali pemikiran rasional agamis zaman Islam klasik
yaitu dengan perhatian yang besar pada filsafat, sains, tehnologi. Dan pada
abad ke- 20 M perkembangan itu lebih maju lagi, sehingga melahirkan
interpretasi rasional dan baru atas Al-qur’an dan Al-hadits.
Harun
Nasution mengatakan bahwa dalam pemikiran rasional agamis mempunyai kebebasan
dan akal mempunyai kedudukan yang tinggi dalam memahami Al-qur’an dan
Al-hadits. Kebebasan akal dalam hal ini hanya terikat pada ajaran-ajaran
absolut kedua sumber utama Islam itu yakni al Qur’an dan hadits. Pemikiran
rasional agamis di sini di maksudkan adalah suatu usaha pemahaman ayat dan
hadits sedemikian mungkin sehingga sesuai dengan pendapat akal dengan syarat
tidak bertentangan dengan ajaran absolut tersebut di atas.
Sehingga
dapat disimpulkan bahwa pemikiran rasional agamis adalah pemikiran yang
didasarkan akal manusia dengan syarat tidak bertentangan dengan Al-qur’an dan
Al-hadits sehingga dapat diharapkan terciptanya Islam rasional.
DAFTAR
PUSTAKA
Arifin,
Muhammad. 2008. Teologi Rasional (Studi analisis terhadap Pemikiran
Teologi Harun Nasution),Cet.I. Banda aceh.Ar-Raniry Press
Dewan
Redaksi. 2001. Ensiklopedi Islam. Cet. Ke-9. Jakarta: PT
Ichtiar Baru Van Hoeve
Echols, John
M. dan Hassan Shadily. 1979. Kamus Inggris Indonesia. cet.
VIII. Jakarta: Gramedia.
Muzani,
Saiful. 1996. Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran Prof Harun
Nasution. Bandung: Mizan
Nasution, Harun. 1987. Muhammad
Abduh dan Teologi Islam Mu’tazilah.Jakarta : Universitas
Indonesia
Nata,
Abudin. 2001. Peta Keragaman Pemikiran Islam di Indonesia.Jakarta:
Raja Grafindo Persada
Ridwan,
Kafrawi, dkk. 1999. Ensiklopedi Islam. cet. IX. Jakarta: Gramedia.
Taufik,
Ahmad dkk. 2005. Sejarah Pemikiran dan Tokoh Modernisme Islam.
Jakarta: Raja Grafindo Persada
[1] Saiful Muzani. Islam Rasional: Gagasan dan
Pemikiran Prof Harun Nasution.. (Bandung: Mizan. 1996). Hlm. 7
[5] Sholeh Ahmad. 2010. Ajaran
Dasar dan Non Dasar, Faham Rasional dan Pendidikan Harun Nasution. Diakses
1 Juni 2011.
[6] Ahmad Taufik dkk. 2005. Sejarah
Pemikiran dan Tokoh Modernisme Islam. (Jakarta: Raja Grafindo Persada).
Hlm. 161-162
[7] Muhammad Arifin. 2008. Teologi
Rasional (Studi analisis terhadap Pemikiran Teologi Harun Nasution),Cet.I.(Banda
aceh.Ar-Raniry Press). Hal.20-21.
[8] Abudin Nata. 2001. Peta
Keragaman Pemikiran Islam di Indonesia.(Jakarta: Raja Grafindo Persada)
hlm. 59
[9] John M. Echols dan Hassan Shadily.
1979. Kamus Inggris Indonesia. (Jakarta: Gramedia) cet. VIII. Hlm.
466
[15] Dewan Redaksi. 2001. Ensiklopedi
Islam. (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve) Cet. Ke-9. Hlm. 20
[16] Harun Nasution. 1992. Pembaharuan
Dalam Islam-Sejarah Pemikran dan Gerakan. (Jakarta : Bulan Bintang). Cet.
Ke 9. Hlm. 201
Komentar
Posting Komentar